Penggemar sepakbola tidak hanya senang menyaksikan strategi permainan yang memikat tetapi juga menonton tayangan siaran langsung sepakbola yang tak kalah berkualitas.
Di tengah teknologi yang serbacanggih, sulit bagi wasit mengelak dari kesalahan yang diperbuatnya saat memimpin pertandingan. Lihat Piala Dunia lalu ketika wasit Jorge Larrionda asal Uruguay tidak mengesahkan tendangan Frank Lampard menjadi gol meski sudah melewati garis gawang Manuel Neuer.
Atau lihat pula pertandingan Persisam Samarinda menjamu Persib Bandung, Kamis (20/1) sore kemarin.
Tak bisa dimungkiri, nama besar Persib menjadi gula siaran langsung Superliga Indonesia di televisi. Sejarah panjang Persib dengan status sejumlah pemain timnas Indonesia, tentu menyedot perhatian masyarakat banyak, baik yang berada di Bandung maupun tidak. Jika Persib bermain di kandang sendiri, seisi kota Bandung mendadak kosong karena perhatian tertuju ke stadion. Begitu pula halnya ketika Persib bermain di luar kandang. Bobotoh dengan setia menggelar acara nonton bareng di mana saja, mulai dari pasar tradisional, pangkalan ojek, lapangan terbuka, kafe, bioskop, gedung olahraga, bahkan hingga hanggar pesawat.
Jika ada tim yang menolak disiarkan langsung karena takut pendapatan dari penjualan tiket berkurang, manajemen Persib malah menyambut gembira. Alasannya, selain bisa mengurangi kepadatan di stadion saat Persib bermain kandang, siaran langsung setidaknya dinilai dapat mengurangi kesalahan yang dilakukan oleh perangkat pertandingan saat berlaga jauh dari Bandung.
Namun harapan tinggal harapan, bahkan dengan siaran langsung pun wasit masih melakukan kesalahan fatal. Beragam keputusan keliru seperti off-side, tekel keras, penalti, handsball, tabrakan pemain, dan lain-lain, tetap saja terjadi.
Dalam sepekan ini kita bisa mengambil beberapa contoh. Pertama ketika terjadinya gol pertama Arema ke gawang Persiba, Rabu (20/1). Dalam sepekan ini kita ambil beberapa contoh. Pertama ketika terjadinya gol pertama Arema ke gawang Persiba, Rabu (20/1). Dari layar kaca selintas terlihat Leonard Tupamahu berdiri dalam posisi off-side saat menyontek bola. Namun replay hanya sekilas hingga penonton dibuat penasaran.
Lainnya hadir dari laga Persisam melawan Persib. Dalam sebuah adegan di babak pertama, Hilton Moreira melesat ke depan keluar dari jebakan off-side, tetapi wasit mengangkat bendera, ironisnya televisi mengambil replay dari sudut belakang gawang! Dari mana pemirsa tahu itu off-side atau tidak? Belum lagi banyak episode rawan kontroversi tanpa replay.
Contoh selanjutnya mungkin akan menjadi misteri dan seperti biasanya tenggelam dimakan waktu. Sebagian penonton pasti bertanya-tanya, mengapa Gonzales dikartumerah. Tayangan replay yang diharapkan bisa menjadi jawaban, tak kunjung datang.
Riedl Tentukan 26 Pemain Pra Olimpiade
Selasa, 18 Januari 2011
Daftar Lengkap Skuad Pra Olimpiade 2011:
1. Kurnia Mega (Arema Indonesia)
2. Arditani Ardiyasa (Persija Jakarta)
3. Muhamad Ridwan (Persita Tangerang)
4. Abdul Hamid Mony (Persiba Balikpapan)
5. Safri Umi (Persiraja Banda Aceh)
6. Diaz Angga Putra (Persib Bandung)
7. Ahmad Farizi (Arema Indonesia)
8. Gunawan Dwi Cahyo (Sriwijaya FC)
9. Rahmat Latif (Sriwijaya FC)
10. Fachrudin (PSS Sleman)
11. Septia Hadi (PSPS Pekanbaru)
12. Okto Maniani (Sriwijaya FC)
13. Dendi Santoso (Arema Indonesia)
14. Egi Melgiansyah (Pelita Jaya)
15. Hendro Siswanto (Persela Lamongan)
16. Ramdani Lestaluhu (Persija Jakarta)
17. Nasution Karubaba (Perseman Manokwari)
18. Engelberth Sani (Pelita Jaya)
19. Johan Yoga (Persib Bandung)
20. Rishadi Fauzi (Persita Tangerang)
21. Aris Alfiansyah (Persela Lamongan)
22. Titus Bonai (Persipura Jayapura)
23. Risky Novriansyah (Persijap Jepara)
24. David Lali (Persipura Jayapura)
25. Yongki Aribowo (Arema Indonesia)
26. Ruben Wuarbanaran (dalam proses WNI & paspor Indonesia)
1. Kurnia Mega (Arema Indonesia)
2. Arditani Ardiyasa (Persija Jakarta)
3. Muhamad Ridwan (Persita Tangerang)
4. Abdul Hamid Mony (Persiba Balikpapan)
5. Safri Umi (Persiraja Banda Aceh)
6. Diaz Angga Putra (Persib Bandung)
7. Ahmad Farizi (Arema Indonesia)
8. Gunawan Dwi Cahyo (Sriwijaya FC)
9. Rahmat Latif (Sriwijaya FC)
10. Fachrudin (PSS Sleman)
11. Septia Hadi (PSPS Pekanbaru)
12. Okto Maniani (Sriwijaya FC)
13. Dendi Santoso (Arema Indonesia)
14. Egi Melgiansyah (Pelita Jaya)
15. Hendro Siswanto (Persela Lamongan)
16. Ramdani Lestaluhu (Persija Jakarta)
17. Nasution Karubaba (Perseman Manokwari)
18. Engelberth Sani (Pelita Jaya)
19. Johan Yoga (Persib Bandung)
20. Rishadi Fauzi (Persita Tangerang)
21. Aris Alfiansyah (Persela Lamongan)
22. Titus Bonai (Persipura Jayapura)
23. Risky Novriansyah (Persijap Jepara)
24. David Lali (Persipura Jayapura)
25. Yongki Aribowo (Arema Indonesia)
26. Ruben Wuarbanaran (dalam proses WNI & paspor Indonesia)
Uruguay Ingin Naturalisasi pemain Indonesia
Rabu, 12 Januari 2011
Olahraga / / Selasa, 11 Januari 2011 23:53 WIB
Metrotvnews.com, Jakarta: Uruguay berniat menaturalisasi 15 pesepak bola muda Indonesia. Satu di antaranya Syamsir Alam yang baru mengikuti seleksi Timnas U-23 dan kini merumput di klub Penarol Uruguay.
"Katanya ada permintaan mereka menaturalisasi beberapa pemain kita," kata manajer Tim Sociedad Anonima Deportiva, Demis Djamaoeddin, di sela konferensi pers Uruguay Project 2011 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Selasa (11/1).
Demis mengaku menerima kabar itu melalui email. Demis juga berencana menanyakan kabar itu kepada Badan Tim Nasional (BTN). Namun Deputi Teknik BTN Iman Arief enggan menanggapi kabar tersebut.
Dikatakan Demis, Uruguay memang memiliki wacana menaturalisasi pemain asing. Peraturan asing mendukung rencana itu dengan syarat pemain yang bersangkutan telah merumput dan menetap di uruguay minimal tiga tahun.
"Namun, semua saya serahkan ke pemain, itu hak pemain," kata Demis.
Uruguay merupakan salah satu kekuatan sepak bola Amerika Selatan dan dunia. Pada Piala Dunia 2010 Afrika Selatan, Uruguay melenggang hingga semifinal. Negara tersebut pernah dua kali menjadi juara dunia.
Kabar naturalisasi itu tentunya berbanding terbalik dengan sikap PSSI. Lembaga sepak bola Indonesia itu justru gencar menaturalisasi pemain asing atau keturunan Indonesia padahal negara lain tengah mengincar talenta muda Tanah Air
Fakta Unik Sepakbola Indonesia
Selasa, 11 Januari 2011
Indonesia bisa dibilang mempunyai aroma Sepakbola yang sangat kental dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya. Bahkan, banyak fakta-fakta unik yang patut anda ketahui seputar Sepakbola di Negeri Ibu Pertiwi ini. Berikut Fakta-Fakta unik tersebut :
1. Hampir semua Nama Klub Sepak Bola Indonesia Berawalan huruf P.
2. Cuma di Indonesia, klub dibiayai pemda dimana uangnya diperoleh dari rakyat.
3. Cuma di Indonesia pula, walikota/Bupati/Gubernur merangkap ketua klub, emang ga sibuk ya ?
4. Banyak pejabat di daerah terlibat kasus korupsi hanya gara-gara salah mengelola keuangan klub dengan mencampur adukkan dengan Anggaran pendapatan dan belanja daerah setempat.
5. Bisa jadi, di beberapa daerah, jumlah penonton yang membayar tiket pertandingan dengan yang tidak membayar berbanding 50-50.
6. Di musim hujan, tempat paling strategis menonton pertandingan adalah di bawah pohon tinggi yang menjulang di balik tembok stadion.
7. Penonton Indonesia dikenal fanatik, nekat dan tak takut mati, bahkan mungkin lebih nekat dari Hooligan Inggris. Mereka berani memanjat menara lampu stadion yang tinggi di tengah hujan demi bisa menonton pertandingan secara gratis.
8. Untuk bertahan di tengah kompetisi yang ketat, pemain Indonesia harus dibekali dengan skill sepakbola, lari, dan pencak silat atau tinju. Lari utuk menghindari kejaran penonton suporter atau manajer lawan yang mengamuk karena kalah, pencak silat atau tinju untuk membela diri jika sudah terpojok dengan lawan atau ketika emosi dengan keputusan wasit.
9. Bus klub yang digunakan untuk mengangkut pamain sebaiknya haruslah berlapis baja. Karena jika tidak, bisa ringsek dihadang suporter tim lawan yang menghadang di jalan.
10. Sulit mendapatkan sisi lapangan yang tidak terggenang air ketika hujan di Indonesia.
11. Ajaib! Ketua umumnya masuk penjara tapi masih bisa memimpin organisasi PSSI.
12. Tak usah takut dengan skorsing yang dijatuhkan oleh komisi disiplin, karena nantinya pasti akan diampuni oleh ketua umum.
13. Jarak laga tandang yang harus dilakoni sebuah klub di Indonesia bisa jadi yang terjauh. Bayangkan jika klub asal Aceh harus terbang ke Papua atau sebaliknya.
14. Di Indonesia, petugas keamanan menghadap ke lapangan bukan ke arah penonton, bahkan beberapa di antaranya terlihat duduk dan bersorak memberi dukungan untuk tim tuan rumah.
15. Cuma di Indonesia, polisi turun tangan melerai dan menangkap dua pemain yang bertikai di lapangan. Bahkan sempat memenjarakannya.
16. Di Indonesia, yang memukul bukan hanya pemain dan offisial, wasit pun tak mau kalah.
17. Kadang-kadang, lapangan juga dijadikan tempat membuang sampah oleh penonton, terutama jika tim kesayangannya kalah.
18. Jika sebelum pertandingan lapangan disterilkan, seringkali akan ditemukan banyak benda berbau klenik di seputaran gawang.
19. Meski telah diperiksa petugas sebelum masuk, masih banyak penonton membunyikan peluit di tengah atau akhir pertandingan. Tidak diketahui dimana mereka menyembunyikan benda terlarang tersebut, kemungkinan di daerah “terlarang” yang bebas razia.
20. Menonton kompetisi liga super Indonesia seperti menonton liga eks-patriat di negeri sendiri, jumlah pemain asing yang dimainkan hampir lebih banyak dari pemain lokal. Sayangnya, kualitas pemain asing rata-rata tidak lebih baik dari pemain lokal. Umumnya mereka lebih besar, tinggi dan garang di lapangan.
CATATAN Sepakbola Nasional: Izinkan LPI, ‘Bom Waktu’ Olahraga Nasional
Sabtu, 08 Januari 2011
Maklum saja karena pembukaan kompetisi sepakbola yang dihelat di Stadion Manahan, Solo, dengan mempertemukan tuan rumah Solo FC versus Persema Malang dan berakhir dengan keunggulan Persema 5-1 kemarin, menjadi momentum yang memilukan bagi dunia olahraga tanah air.
Khususnya bagi induk organisasi olahraga nasional yang selama ini terus berupaya membina dan mengembangkan cabang olahraga yang dibawahi. Pasalnya, bukan tidak mungkin apa yang dilakukan LPI bisa diikuti, sehingga muncul turnamen atau pun kompetisi tandingan tanpa harus melalui persetujuan dari induk organisasi bersangkutan.
Bisa dibayangkan, apa jadinya nasib olahraga nasional secara keseluruhan sekiranya setiap orang atau kelompok tertentu bisa menggulirkan kompetisi tanpa harus meminta persetujuan dari induk organisasi yang ada. Selama hal itu bisa menguntungkan dari segi bisnis.Dengan begitu, sulit bagi kita untuk melihat kualitas dari turnamen maupun kompetisi yang digulirkan. Kenapa? Karena unsur prestasi sudah menjadi nomor sekian. Hal yang paling utama adalah unsur politik yang dibungkus dengan baju bisnis dan perubahan, sehingga menambrak aturan pun tidak masalah.
“Saat ini kami tidak dalam kondisi untuk meminta persetujuan lagi kepada PSSI, karena sudah mendapat pengesahan dari pemerintah melalui BOPI [Badan Olahraga Profesional Indonesia],” tutur Humas LPI, Abi Hasantoso, dalam wawancara dengan sebuah stasiun radio swasta nasional beberapa saat lalu.
Pada kesempatan ini, Abi juga menegaskan bahwa kompetisi yang mereka gelar jauh lebih profesional dan bermutu dari yang dijalani PSSI selama ini, karena sama sekali tidak menggunakan dana APBD [Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah] untuk mendanai klub, seperti yang dilakukan sebagian besar klub sepakbola di tanah air saat ini.
Untuk sisi anggaran dana klub sepakbola, pernyataan pria yang menjadi juru bicara LPI ini ada benarnya. Tapi untuk memastikan kompetisi LPI jauh lebih baik dari yang ada sepertinya masih harus dilihat. Terlalu dini untuk mengklaim kompetisi LPI jauh lebih baik, karena baru menggulirkan satu pertandingan.
Masih ada puluhan dan bahkan ratusan laga yang harus dilihat ke depan untuk bisa menjatuhkan vonis bahwa kompetisi LPI memang lebih baik dari yang digulirkan PSSI saat ini. Terlebih jika melihat persiapan tim-tim yang akan tampil.
Pasalnya, selain tiga tim Superliga yang membelot, yakni Persema Malang, PSM Makassar, maupun Persibo Bojonegoro, dan juga Persebaya Surabaya yang memang sejak awal sudah memastikan akan tampil di LPI, serta Batavia Union yang nota bene mantan pemain Persitara yang terdegradasi ke divisi utama musim lalu, praktis semua tim terbilang baru.
Bahkan tim-tim tadi bisa dikatakan “gurem” karena selain tidak pernah terdengar, sejumlah pemain yang menghuni skuad tim tersebut pun bukan jebolan kompetisi elit di tanah air. Dalam artian, jangankan berkompetisi di kasta tertinggi sepakbola nasional, di level divisi utama saja sebagian besar dari mereka belum pernah.
Fakta lain yang bisa dijadikan acuan dalam kapasitas kompetisi profesional yang gadang-gadang LPI adalah adanya sebuah tim yang 90 persen pemainnya adalah anggota Tentara Nasional Indonesia [TNI]. Belum lagi dengan tidak adanya sistem promosi dan degradasi yang ditetapkan LPI, sehingga sulit diterima akal sehat jika dikatakan kompetisi LPI adalah yang terbaik di tanah air.Meski begitu, patut kita tunggu bagaimana kelanjutan dari kompetisi yang digulirkan pengusaha kondang Arifin Panigoro tersebut. Apakah bisa bertahan hingga akhir kompetisi atau justru putus di tengah jalan? Semuanya masih harus dilihat.
Satu hal yang membuat kening kita bisa mengkerut adalah munculnya selentingan berita bakal adanya sanksi dari federasi sepakbola dunia [FIFA], yang sudah pasti akan berujung pada kerugian besar pada sepakbola nasional.
Kenapa? Karena jika saja sanksi itu benar, artinya timnas sepakbola kita tidak akan bisa berpartisipasi di ajang internasional, termasuk dua even yang sedang dihadapi, yakni SEA Games 2011 maupun Pra Olimpiade.
Sangat tragis dan memilukan memang, karena Indonesia akan menjadi tuan rumah SEA Games mendatang. Belum lagi, saat ini PSSI melalui Badan Tim Nasional [BTN] dan di bawah pantauan pelatih Alfred Riedl tengah menggelar seleksi pemain timnas U-23 untuk menghadapi dua even internasional tersebut.
http://www.goal.com/id-ID
CATATAN: Nasionalisme Dan Sepakbola Indonesia
Jumat, 07 Januari 2011
Apakah ada keterkaitan langsung antara nilai nasionalisme dan prestasi sepakbola sebuah bangsa?
Bagi pandangan universialis, nasionalisme adalah paham yang mulai digerogoti zaman. Pakar ilmu sosial politik Anthony Giddens pernah menyebutkan, begitu era Perang Dingin usai muncul era posmodern dengan persekutuan regional sebagai salah satu penanda yang paling signifikan.
Muncul lah Uni Eropa. Perbatasan (frontier) mulai terhapus dan melahirkan batasan (border). Secara fisik, garis perbatasan antarnegara sudah menghilang dan hanya ada batasan yang sulit dinilai secara kasat mata.
Di dunia sepakbola, Uni Eropa melahirkan sebuah kebijakan yang tak pernah terbayangkan generasi paman kita: Dekrit Bosman. Setelah 1995 sepakbola Eropa tergopoh-gopoh mengadopsi definisi baru tentang "pemain asing". Berdasarkan peraturan yang bermula karena sengketa antara seorang pemain Belgia dan klubnya itu, status pemain asing tidak lagi sekadar dinilai berdasarkan paspornya. Pemain dari negara anggota Uni Eropa bebas mencari nafkah di sesama negara anggota. Proteksi runtuh, pemain asing -- asal negara Uni Eropa maupun bukan -- pun membanjiri kompetisi Eropa.
Nasionalisme atau paham kebangsaan serupa barang semu. Tidak berbentuk dan hanya ada di dalam benak kepala orang banyak. Benedict Anderson mengatakan, bangsa-bangsa adalah komunitas yang dibentuk secara sosial dan diciptakan dalam persepsi mereka yang berada di dalamnya. Prinsip kebangsaan ini mendapat tempat lebih luas secara politis ketika orang membentuk negara.
Sepakbola turut memberikan ruang atas terjadinya persaingan antarbangsa atau antarnegara salah satunya melalui sistem kejuaraan yang dikenal sejak olahraga si kulit bulat ini mewabah secara global.
Dalam ruang yang paling kecil terjadi ketika Indonesia berpartisipasi di AFF Suzuki Cup 2010 lalu. Kebetulan atau tidak, Indonesia mengawali turnamen sekaligus mengakhirinya dengan menghadapi Malaysia. Hubungan Indonesia dan Malaysia tak ubahnya seperti dua negara tetangga lain di dunia. Saling cela, saling bersaing, saling cemburu, tetapi sebenarnya saling membutuhkan.
Malaysia dalam banyak hal sebenarnya mengagumi Indonesia. Dalam sebuah percakapan dengan seorang teman dari negara jiran itu di Kuala Lumpur dua pekan lalu, generasi muda Malaysia sebenarnya mengakui keunggulan berbagai produk budaya Indonesia. Sayangnya, Indonesia tidak memandang fenomena itu sebagai sebuah hegemoni melainkan menganggapnya sebagai produk yang eksklusif.
Tapi, di lapangan sepakbola Malaysia berhasil mengungguli Indonesia dalam dua pertemuan. Jika masyarakat Indonesia merayakan pencapaian timnas di AFF Suzuki Cup dengan gegap gempita, begitu pula dengan masyarakat Malaysia. Jika kepentingan politik Indonesia menempatkan sepakbola di pentas utama, begitu pula halnya dengan Malaysia. Sebabnya sepakbola dianggap berhasil menggelembungkan sikap nasionalisme sepanjang turnamen digelar.
Nasionalisme yang sudah ditinggalkan kalangan posmodernis tetap menjadi barang penting bagi negara dunia ketiga seperti Indonesia dan Malaysia. Jika menilik teori modernisasi Anthony Giddens, entah berada di tahap berapa Indonesia sekarang ini. Bukan negara primordial yang feodalis, tetapi tidak jua lepas landas. Kesadaran manusia, demikian Karl Marx suatu ketika, tergantung pada alat produksi yang dipakainya. Bagi Marx, kesadaran manusia sangat diperlukan demi sebuah kemajuan. Indonesia dan Malaysia, selama AFF Suzuki Cup, ternyata menuju "kemajuan" yang berbeda.
Di Malaysia dewasa ini, kebangsaan adalah isu penting. Dalam setahun terakhir Pemerintah rajin mempropagandakan kampanye "1Malaysia", yang bertujuan menyatukan berbagai rumpun budaya -- terutama tiga etnis besar: Melayu, Cina, dan India. Bahasa ibu masih akrab di telinga masyarakat sehari-hari karena tidak semua orang Malaysia bisa berbahasa Melayu dan tidak semua orang Malaysia lancar berbahasa Inggris.
Kaum oposisi beranggapan kampanye "1Malaysia" bertujuan melanggengkan status quo generasi rezim pemerintahan dan Anda tahu bahasa yang digunakan media Melayu untuk menyebut kata "oposisi"? "Pembangkang". Dalam bahasa Indonesia, dua kata tersebut memiliki konotasi yang berbeda. Pendeknya, bagi Malaysia persatuan adalah isu penting.
Jauh sebelum AFF Suzuki digelar, Pemerintah Malaysia menyertakan sepakbola dalam kurikulum pendidikan nasional. Sejumlah fasilitas akademis plus sepakbola didirikan di beberapa negara bagian -- terbaru di negara bagian Pahang. Sistem pembinaan pemain muda ini turut ditunjang kebijakan federasi sepakbola setempat (FAM) yang melarang partisipasi pemain asing dalam kompetisi nasional.
Saat turnamen digelar, euforia kebangsaan Malaysia mulai terpantik ketika sukses menumbangkan juara bertahan Vietnam 2-0 pada laga pertama semi-final di Kuala Lumpur. Ketika laga kedua digelar di Hanoi, Perdana Menteri Dato' Sri Mohammad Najib berupaya merangkul generasi muda Malaysia dengan mendatangi langsung arena nonton bareng di kawasan Bukit Bintang. Tanpa ragu PM Najib duduk bersila bersama ratusan penonton lainnya menonton layar lebar sampai pertandingan habis.
Ketika juara, wajar kiranya Pemerintah Malaysia merayakannya dengan meliburkan hari terakhir di tahun 2010 untuk berpesta menyambut gelar pertama mereka di turnamen antarnegara Asia Tenggara itu. Sepakbola dianggap sebagai kebanggaan bersama warga Malaysia. Semua etnis berbaur menjadi satu dalam merayakan keberhasilan tim Harimau Malaya. Malaysia berhak merayakan kemenangannya.
Indonesia menjalani turnamen dengan penuh warna, gagal meski difavoritkan merebut gelar. PSSI bahkan merayakan pencapaian timnas terlalu dini dengan memberikan bonus usai semi-final dan mengajak seisi anggota tim berkeliling luar lapangan sepakbola. PSSI memanfaatkan kesadaran masyarakat Indonesia untuk mendukung timnas dengan memaksa mereka mengantre tiket berjam-jam. Harga tiket jauh di atas biaya hidup sehari-hari di Jakarta, tapi peminat tetap membludak. Di negara kita, isu nasionalisme malah disetir ke arah kepentingan tertentu.
Kemajuan sepakbola Indonesia seperti terasa semu. Tingginya antusiasme publik tinggi masih dianggap sebagai bukti kebangkitan nasionalisme, padahal itu tak ubahnya wacana belaka. Seperti yang dikatakan seorang penonton ketika turnamen berlangsung, "Mau membela siapa lagi kalau bukan Indonesia, betapapun bobroknya sistem persepakbolaan negara ini."
Masalah mendukung timnas Indonesia itu adalah sebuah kewajaran. Kita tidak pernah bisa menilai kadar nasionalisme seseorang. Misalnya ketika wacana pemain keturunan dan naturalisasi didengungkan, tidak sedikit mencemooh karena menggunakan alasan rasio jumlah penduduk "pribumi" Indonesia dengan anggota skuad timnas. Ataupun ketika Boaz Solossa dicoret karena tak jua bergabung ke pemusatan latihan di Jakarta, orang ramai mempertanyakan nasionalismenya.
Ada yang merasa cukup nasionalis dengan hadir menonton di Senayan dan menyanyikan lagu Indonesia Raya secara bersama-sama. Sesungguhnya tidak kurang nasionalis pula para pembersih sampah yang membersihkan kompleks olahraga Senayan setelah pertandingan digelar.
Wacana nasionalisme yang kerap digunakan cenderung kontraproduktif karena menciptakan sekat-sekat antara yang sama dan yang beda. Hal ini jauh dari cita-cita luhur membentuk masyarakat madani yang memiliki karakter inklusif. Dan sepakbola tidak akan mampu dijadikan takaran mutlak menilai nasionalisme, begitupun sebaliknya.
Duet penulis Simon Kuper dan Stefan Szymanski menyimpulkan, penyelenggaraan turnamen besar seperti Piala Dunia sejatinya tidak bisa diharapkan menghadirkan profit ataupun menciptakan kesadaran baru tentang nasionalisme negaa penyelenggara. Lihat bagaimana Afrika Selatan harus mengeluarkan biaya besar-besaran untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010, padahal jumlah yang sama bisa dialokasikan untuk menyediakan fasilitas perumahan bagi kaum miskin. Namun, ada faktor yang juga dinilai penting, menyelenggarakan Piala Dunia bisa mendatangkan kebahagiaan.
Masyarakat Indonesia yang berduyun-duyun memadati Senayan di akhir tahun lalu tidak berupaya membuktikan nasionalisme mereka. Namun, mereka sejatinya mencari kebahagiaan di atas lapangan. Mereka bahkan bersedia membeli kebahagiaan itu meski harga tiket melambung memasuki babak-babak penentuan.
Penampilan para pemain timnas Indonesia yang gagah berani sepanjang AFF Suzuki Cup sebenarnya telah mampu membahagiakan masyarakat; tetapi jika dirasa ada sesuatu yang mengganjal kebahagiaan kita menikmati si kulit bulat, pasti ada yang salah dengan otoritas sepakbola negeri ini.
http://www.goal.com/id-ID/
Bagi pandangan universialis, nasionalisme adalah paham yang mulai digerogoti zaman. Pakar ilmu sosial politik Anthony Giddens pernah menyebutkan, begitu era Perang Dingin usai muncul era posmodern dengan persekutuan regional sebagai salah satu penanda yang paling signifikan.
Muncul lah Uni Eropa. Perbatasan (frontier) mulai terhapus dan melahirkan batasan (border). Secara fisik, garis perbatasan antarnegara sudah menghilang dan hanya ada batasan yang sulit dinilai secara kasat mata.
Di dunia sepakbola, Uni Eropa melahirkan sebuah kebijakan yang tak pernah terbayangkan generasi paman kita: Dekrit Bosman. Setelah 1995 sepakbola Eropa tergopoh-gopoh mengadopsi definisi baru tentang "pemain asing". Berdasarkan peraturan yang bermula karena sengketa antara seorang pemain Belgia dan klubnya itu, status pemain asing tidak lagi sekadar dinilai berdasarkan paspornya. Pemain dari negara anggota Uni Eropa bebas mencari nafkah di sesama negara anggota. Proteksi runtuh, pemain asing -- asal negara Uni Eropa maupun bukan -- pun membanjiri kompetisi Eropa.
Nasionalisme atau paham kebangsaan serupa barang semu. Tidak berbentuk dan hanya ada di dalam benak kepala orang banyak. Benedict Anderson mengatakan, bangsa-bangsa adalah komunitas yang dibentuk secara sosial dan diciptakan dalam persepsi mereka yang berada di dalamnya. Prinsip kebangsaan ini mendapat tempat lebih luas secara politis ketika orang membentuk negara.
Sepakbola turut memberikan ruang atas terjadinya persaingan antarbangsa atau antarnegara salah satunya melalui sistem kejuaraan yang dikenal sejak olahraga si kulit bulat ini mewabah secara global.
Dalam ruang yang paling kecil terjadi ketika Indonesia berpartisipasi di AFF Suzuki Cup 2010 lalu. Kebetulan atau tidak, Indonesia mengawali turnamen sekaligus mengakhirinya dengan menghadapi Malaysia. Hubungan Indonesia dan Malaysia tak ubahnya seperti dua negara tetangga lain di dunia. Saling cela, saling bersaing, saling cemburu, tetapi sebenarnya saling membutuhkan.
Malaysia dalam banyak hal sebenarnya mengagumi Indonesia. Dalam sebuah percakapan dengan seorang teman dari negara jiran itu di Kuala Lumpur dua pekan lalu, generasi muda Malaysia sebenarnya mengakui keunggulan berbagai produk budaya Indonesia. Sayangnya, Indonesia tidak memandang fenomena itu sebagai sebuah hegemoni melainkan menganggapnya sebagai produk yang eksklusif.
Tapi, di lapangan sepakbola Malaysia berhasil mengungguli Indonesia dalam dua pertemuan. Jika masyarakat Indonesia merayakan pencapaian timnas di AFF Suzuki Cup dengan gegap gempita, begitu pula dengan masyarakat Malaysia. Jika kepentingan politik Indonesia menempatkan sepakbola di pentas utama, begitu pula halnya dengan Malaysia. Sebabnya sepakbola dianggap berhasil menggelembungkan sikap nasionalisme sepanjang turnamen digelar.
Nasionalisme yang sudah ditinggalkan kalangan posmodernis tetap menjadi barang penting bagi negara dunia ketiga seperti Indonesia dan Malaysia. Jika menilik teori modernisasi Anthony Giddens, entah berada di tahap berapa Indonesia sekarang ini. Bukan negara primordial yang feodalis, tetapi tidak jua lepas landas. Kesadaran manusia, demikian Karl Marx suatu ketika, tergantung pada alat produksi yang dipakainya. Bagi Marx, kesadaran manusia sangat diperlukan demi sebuah kemajuan. Indonesia dan Malaysia, selama AFF Suzuki Cup, ternyata menuju "kemajuan" yang berbeda.
Di Malaysia dewasa ini, kebangsaan adalah isu penting. Dalam setahun terakhir Pemerintah rajin mempropagandakan kampanye "1Malaysia", yang bertujuan menyatukan berbagai rumpun budaya -- terutama tiga etnis besar: Melayu, Cina, dan India. Bahasa ibu masih akrab di telinga masyarakat sehari-hari karena tidak semua orang Malaysia bisa berbahasa Melayu dan tidak semua orang Malaysia lancar berbahasa Inggris.
Kaum oposisi beranggapan kampanye "1Malaysia" bertujuan melanggengkan status quo generasi rezim pemerintahan dan Anda tahu bahasa yang digunakan media Melayu untuk menyebut kata "oposisi"? "Pembangkang". Dalam bahasa Indonesia, dua kata tersebut memiliki konotasi yang berbeda. Pendeknya, bagi Malaysia persatuan adalah isu penting.
Jauh sebelum AFF Suzuki digelar, Pemerintah Malaysia menyertakan sepakbola dalam kurikulum pendidikan nasional. Sejumlah fasilitas akademis plus sepakbola didirikan di beberapa negara bagian -- terbaru di negara bagian Pahang. Sistem pembinaan pemain muda ini turut ditunjang kebijakan federasi sepakbola setempat (FAM) yang melarang partisipasi pemain asing dalam kompetisi nasional.
Saat turnamen digelar, euforia kebangsaan Malaysia mulai terpantik ketika sukses menumbangkan juara bertahan Vietnam 2-0 pada laga pertama semi-final di Kuala Lumpur. Ketika laga kedua digelar di Hanoi, Perdana Menteri Dato' Sri Mohammad Najib berupaya merangkul generasi muda Malaysia dengan mendatangi langsung arena nonton bareng di kawasan Bukit Bintang. Tanpa ragu PM Najib duduk bersila bersama ratusan penonton lainnya menonton layar lebar sampai pertandingan habis.
Ketika juara, wajar kiranya Pemerintah Malaysia merayakannya dengan meliburkan hari terakhir di tahun 2010 untuk berpesta menyambut gelar pertama mereka di turnamen antarnegara Asia Tenggara itu. Sepakbola dianggap sebagai kebanggaan bersama warga Malaysia. Semua etnis berbaur menjadi satu dalam merayakan keberhasilan tim Harimau Malaya. Malaysia berhak merayakan kemenangannya.
Indonesia menjalani turnamen dengan penuh warna, gagal meski difavoritkan merebut gelar. PSSI bahkan merayakan pencapaian timnas terlalu dini dengan memberikan bonus usai semi-final dan mengajak seisi anggota tim berkeliling luar lapangan sepakbola. PSSI memanfaatkan kesadaran masyarakat Indonesia untuk mendukung timnas dengan memaksa mereka mengantre tiket berjam-jam. Harga tiket jauh di atas biaya hidup sehari-hari di Jakarta, tapi peminat tetap membludak. Di negara kita, isu nasionalisme malah disetir ke arah kepentingan tertentu.
Kemajuan sepakbola Indonesia seperti terasa semu. Tingginya antusiasme publik tinggi masih dianggap sebagai bukti kebangkitan nasionalisme, padahal itu tak ubahnya wacana belaka. Seperti yang dikatakan seorang penonton ketika turnamen berlangsung, "Mau membela siapa lagi kalau bukan Indonesia, betapapun bobroknya sistem persepakbolaan negara ini."
Masalah mendukung timnas Indonesia itu adalah sebuah kewajaran. Kita tidak pernah bisa menilai kadar nasionalisme seseorang. Misalnya ketika wacana pemain keturunan dan naturalisasi didengungkan, tidak sedikit mencemooh karena menggunakan alasan rasio jumlah penduduk "pribumi" Indonesia dengan anggota skuad timnas. Ataupun ketika Boaz Solossa dicoret karena tak jua bergabung ke pemusatan latihan di Jakarta, orang ramai mempertanyakan nasionalismenya.
Ada yang merasa cukup nasionalis dengan hadir menonton di Senayan dan menyanyikan lagu Indonesia Raya secara bersama-sama. Sesungguhnya tidak kurang nasionalis pula para pembersih sampah yang membersihkan kompleks olahraga Senayan setelah pertandingan digelar.
Wacana nasionalisme yang kerap digunakan cenderung kontraproduktif karena menciptakan sekat-sekat antara yang sama dan yang beda. Hal ini jauh dari cita-cita luhur membentuk masyarakat madani yang memiliki karakter inklusif. Dan sepakbola tidak akan mampu dijadikan takaran mutlak menilai nasionalisme, begitupun sebaliknya.
Duet penulis Simon Kuper dan Stefan Szymanski menyimpulkan, penyelenggaraan turnamen besar seperti Piala Dunia sejatinya tidak bisa diharapkan menghadirkan profit ataupun menciptakan kesadaran baru tentang nasionalisme negaa penyelenggara. Lihat bagaimana Afrika Selatan harus mengeluarkan biaya besar-besaran untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010, padahal jumlah yang sama bisa dialokasikan untuk menyediakan fasilitas perumahan bagi kaum miskin. Namun, ada faktor yang juga dinilai penting, menyelenggarakan Piala Dunia bisa mendatangkan kebahagiaan.
Masyarakat Indonesia yang berduyun-duyun memadati Senayan di akhir tahun lalu tidak berupaya membuktikan nasionalisme mereka. Namun, mereka sejatinya mencari kebahagiaan di atas lapangan. Mereka bahkan bersedia membeli kebahagiaan itu meski harga tiket melambung memasuki babak-babak penentuan.
Penampilan para pemain timnas Indonesia yang gagah berani sepanjang AFF Suzuki Cup sebenarnya telah mampu membahagiakan masyarakat; tetapi jika dirasa ada sesuatu yang mengganjal kebahagiaan kita menikmati si kulit bulat, pasti ada yang salah dengan otoritas sepakbola negeri ini.
http://www.goal.com/id-ID/
Fan Page FB
Kamis, 06 Januari 2011
gabung di Fan Page ini ya kalo punya FB..
http://www.facebook.com/pages/Kapan-Indonesia-masuk-Piala-Dunia/131036930262720
http://www.facebook.com/pages/Kapan-Indonesia-masuk-Piala-Dunia/131036930262720
Profil Stefano Lilipaly, pemain keturunan yg ikut seleksi Timnas U-23.
STEFANO LILIPALY, pemain keturunan yg ikut seleksi Timnas U-23
Gelandang serang
Nomor punggung 39
Lahir di Arnhem, Belanda
Tanggal 10 Januari 1990
...170 cm / 60 kg
KELUARGA
Ayah: Ron Lilipaly
Ibu: Adriana
Kakak: Shemaine
Adik: Sobay, Nino
FAVORIT
Film: Blow, The Godfather, City Of God
Pemain: Andres Iniesta dan Zinedine Zidane
Musik: Snoop Doggy Dogg, R&B
Mode: Christian Dior, Adidas, Nike
PENGALAMAN
Klub: AZ Alkmaar, FC Utrecht
Timnas: Belanda U-15, U-16, U-17, U-18
Gelandang serang
Nomor punggung 39
Lahir di Arnhem, Belanda
Tanggal 10 Januari 1990
...170 cm / 60 kg
KELUARGA
Ayah: Ron Lilipaly
Ibu: Adriana
Kakak: Shemaine
Adik: Sobay, Nino
FAVORIT
Film: Blow, The Godfather, City Of God
Pemain: Andres Iniesta dan Zinedine Zidane
Musik: Snoop Doggy Dogg, R&B
Mode: Christian Dior, Adidas, Nike
PENGALAMAN
Klub: AZ Alkmaar, FC Utrecht
Timnas: Belanda U-15, U-16, U-17, U-18
Daftar Lengkap pemain seleksi Timnas U-23
Seleksi pertama, 6 Januari 2011
1. Choirun Nasrin (Persela Lamongan)
2. Arditani Ardhiyasa (Persija Jakarta)
3. Seftia Hadi (PSPS Pekanbaru)
4. Andri Ibo (Persidafon Dafonsoro)
...5. Safri Umri (Persiraja Aceh)
6. Abdul Hamid Mony (Persiba Balikpapan)
7. Wirya Kusmandra (Persija)
8. Hendro Siswanto (Persela)
9. Johan Manadji (Persiba Bantul)
10. Lifki Suteja (Persija)
11. Nasution Karubaba (Perseman Manokwari)
12. Ramdani Lestaluhu (Persija)
13. Sigit Hermawan (Persija)
14. Fred Ferdinando Mote (Persiwa Wamena)
15. Athur Irawan (Preston North End)
16. Fahrizal Dila (Persiraja Aceh)
17. Aris Alfiansyah (Persela)
18. Harmoko (Persekam Metro)
19. Zisva Siswanto Marco (Perseman)
20. Alan Athur Arrongear (Persiwa)
21. Lucky Wahyu P (Persebaya Surabaya)
22. Andik Firmansyah (Persebaya)
23. Novan Setyo Songko (Persibo Bojonegoro)
24. Fandy Edy (PSM Makassar)
25. Dajusman Trisadi (PSM)
26. Rachmat (PSM)
27. Kim Kurniawan (Persema Malang)
28. Reza Mustofa Ardiansya (Persema Malang)
29. Joko Ribowo (Persema Malang)
30. Irfan Bachdim (Persema Malang)
31. Kurnia Mega (Arema Indonesia)
32. Yongky Aribowo (Arema Indonesia)
33. Okto Maniani (Sriwijaya FC)
Seleksi kedua, 10 Januari 2011:
1. Aji Saka (Arema Indonesia)
2. Johan Angga Kusuma (Persijap Jepara)
3. Mohamad Ridwan (Persita Tangerang)
4. Cecep Supandi (Saint Prima Bandung)
5. Gunawan Dwi Cahayo (Sriwijaya FC)
6. Rachmat Latif (Sriwijaya FC)
7. Barkah Crustianto (Persijap Jepara)
8. Marco M.Kabiay (Persipura)
9. Achmat Farisi (Arema Indonesia)
10. Rendi Saputra (Eks Persib)
11. Burhanudin Nihe (Persigo Gorontalo)
12. Risman Maidulla (Pro Titan)
13. Jacky Arisani (Sriwijaya FC)
14. Munadi (Persib Bandung)
15. Engelberth Sani (Pelita Jaya)
16. Ferdi Mofu (Semen Padang)
17. Dendi Santoso (Arema Indonesia)
18. David Lali (Persipura)
19. Joko Sasongko (Pelita Jaya)
20. Egi Megiansyah (Pelita Jaya)
21. Yoga Eka Firmansyah (Bontang FC)
22. Johan Yoga (Persib Bandung)
23. Risky Novriansyah (Persijap Jepara)
24. Sunarto (Arema Indonesia)
25. Lukas Wellem Mandowen (Persipura)
26. Titus Bonai (Persipura)
27. Rishadi Fauzi (Persita Tangerang)
Seleksi ketiga, 14 Januari 2011:
1. Ali Barkah (Pelita Jaya)
2. Dicky Jamalis (Semen Padang)
3. Rifki Deython Mokodompit (Persita Tangerang)
4. Abdul Rachman (Pelita Jaya)
5. Joko Sidik Fitra Yono (Bontang FC)
6. Marcelino A. Mandagi (Bontang FC)
7. Irfan Raditya (Arema Indonesia)
8. A.A. Wahyu Trisayaya (Persija Jakarta)
9. Windu Hangoro Putra (PSPS Pekanbaru)
10. Herry Susilo (PSIS Semarang)
11. Rama Pratama (Pro Titan)
12. Zainal Abidin (Persela Lamongan)
13. Hasim Kipau (Persija Jakarta)
14. M. Fauzan Djamal (Semen Padang)
15. Iman Suprapto (Sriwijaya FC)
16. Elvis Nelson Anes (Persija Jakarta)
17. Mahadirga Lasut (Sriwijaya FC)
18. Immanuel Wanggai (Persipura Jayapura)
19. Zulham Zumrud (Persela Lamongan)
20. Stevie Bonsapia (Persipura Jayapura)
21. Jajang Mulyana (Pelita Jaya)
22. Ferdinand Sinaga (Persiwa Wamena)
23. Gerry Setia Nugraha (Pelita Jaya)
24. Johan Juanshyah (Persijap Jepara)
1. Choirun Nasrin (Persela Lamongan)
2. Arditani Ardhiyasa (Persija Jakarta)
3. Seftia Hadi (PSPS Pekanbaru)
4. Andri Ibo (Persidafon Dafonsoro)
...5. Safri Umri (Persiraja Aceh)
6. Abdul Hamid Mony (Persiba Balikpapan)
7. Wirya Kusmandra (Persija)
8. Hendro Siswanto (Persela)
9. Johan Manadji (Persiba Bantul)
10. Lifki Suteja (Persija)
11. Nasution Karubaba (Perseman Manokwari)
12. Ramdani Lestaluhu (Persija)
13. Sigit Hermawan (Persija)
14. Fred Ferdinando Mote (Persiwa Wamena)
15. Athur Irawan (Preston North End)
16. Fahrizal Dila (Persiraja Aceh)
17. Aris Alfiansyah (Persela)
18. Harmoko (Persekam Metro)
19. Zisva Siswanto Marco (Perseman)
20. Alan Athur Arrongear (Persiwa)
21. Lucky Wahyu P (Persebaya Surabaya)
22. Andik Firmansyah (Persebaya)
23. Novan Setyo Songko (Persibo Bojonegoro)
24. Fandy Edy (PSM Makassar)
25. Dajusman Trisadi (PSM)
26. Rachmat (PSM)
27. Kim Kurniawan (Persema Malang)
28. Reza Mustofa Ardiansya (Persema Malang)
29. Joko Ribowo (Persema Malang)
30. Irfan Bachdim (Persema Malang)
31. Kurnia Mega (Arema Indonesia)
32. Yongky Aribowo (Arema Indonesia)
33. Okto Maniani (Sriwijaya FC)
Seleksi kedua, 10 Januari 2011:
1. Aji Saka (Arema Indonesia)
2. Johan Angga Kusuma (Persijap Jepara)
3. Mohamad Ridwan (Persita Tangerang)
4. Cecep Supandi (Saint Prima Bandung)
5. Gunawan Dwi Cahayo (Sriwijaya FC)
6. Rachmat Latif (Sriwijaya FC)
7. Barkah Crustianto (Persijap Jepara)
8. Marco M.Kabiay (Persipura)
9. Achmat Farisi (Arema Indonesia)
10. Rendi Saputra (Eks Persib)
11. Burhanudin Nihe (Persigo Gorontalo)
12. Risman Maidulla (Pro Titan)
13. Jacky Arisani (Sriwijaya FC)
14. Munadi (Persib Bandung)
15. Engelberth Sani (Pelita Jaya)
16. Ferdi Mofu (Semen Padang)
17. Dendi Santoso (Arema Indonesia)
18. David Lali (Persipura)
19. Joko Sasongko (Pelita Jaya)
20. Egi Megiansyah (Pelita Jaya)
21. Yoga Eka Firmansyah (Bontang FC)
22. Johan Yoga (Persib Bandung)
23. Risky Novriansyah (Persijap Jepara)
24. Sunarto (Arema Indonesia)
25. Lukas Wellem Mandowen (Persipura)
26. Titus Bonai (Persipura)
27. Rishadi Fauzi (Persita Tangerang)
Seleksi ketiga, 14 Januari 2011:
1. Ali Barkah (Pelita Jaya)
2. Dicky Jamalis (Semen Padang)
3. Rifki Deython Mokodompit (Persita Tangerang)
4. Abdul Rachman (Pelita Jaya)
5. Joko Sidik Fitra Yono (Bontang FC)
6. Marcelino A. Mandagi (Bontang FC)
7. Irfan Raditya (Arema Indonesia)
8. A.A. Wahyu Trisayaya (Persija Jakarta)
9. Windu Hangoro Putra (PSPS Pekanbaru)
10. Herry Susilo (PSIS Semarang)
11. Rama Pratama (Pro Titan)
12. Zainal Abidin (Persela Lamongan)
13. Hasim Kipau (Persija Jakarta)
14. M. Fauzan Djamal (Semen Padang)
15. Iman Suprapto (Sriwijaya FC)
16. Elvis Nelson Anes (Persija Jakarta)
17. Mahadirga Lasut (Sriwijaya FC)
18. Immanuel Wanggai (Persipura Jayapura)
19. Zulham Zumrud (Persela Lamongan)
20. Stevie Bonsapia (Persipura Jayapura)
21. Jajang Mulyana (Pelita Jaya)
22. Ferdinand Sinaga (Persiwa Wamena)
23. Gerry Setia Nugraha (Pelita Jaya)
24. Johan Juanshyah (Persijap Jepara)
Seleksi Timnas U-23 Diikuti Empat Pemain Asing.Mereka adalah Stefano Lilipaly (20 tahun) pemain bek tim junior FC Utrecht Belanda, James Zaidan Saragih (19 tahun), gelandang New York Cosmos AS, dan Mark van de Maarel (21 tahun), bek FC Utrecht. Satunya lagi Andrea, sayap kanan yang pernah bermain di klub Liga Prancis.
.
Langganan:
Postingan (Atom)
TERIMAKASIH TELAH MENGUNJUNGI BLOG INI...
Suporter Indonesia
